IKNBISNIS.COM, BALIKPAPAN-Pengaturan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi melalui aplikasi My Pertamina memantik perhatian anggota Dewan Pakar DPP Partai Gerindra Bambang Haryo Soekartono. Menurutnya, kebijakan itu tidak efektif dan menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi. Dalam keterangan tertulis yang disampaikan, Kamis (7/7/2022), Bambang Haryo Soekartono berpendapat, seharusnya Pertamina fokus menjamin ketersediaan BBM dan memastikan kelancaran distribusi. Itu lantaran BBM merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Anggota DPR-RI periode 2014-2019 ini mengatakan, pertalite bukan BBM subsidi melainkan premium RON 88 sebagaimana yang berlaku era orde baru hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). BBM Bersubsidi lainnya yakni solar

“BBM bersubsidi era Presiden Soeharto tahun 1998, premium seharga Rp1.200 per liter, sedangkan era SBY tahun 2012, premium dan solar seharga sama Rp4.500 per liter. Padahal harga minyak mentah dunia waktu itu sebesar 145 dolar Amerika Serikat (AS) per barel. Penggunaan premium tidak dibatasi saat itu. Nah saat ini harga minyak mentah dunia sekitar 100 dolar AS barel, dan saat ini BBM bersubsidi harus menggunakan pertalite yang harganya jauh lebih tinggi daripada premium, maka harusnya pertalite saat ini tidak boleh dibatasi penggunaannya karena berfungsi sebagai pengganti BBM subsidi premium,” lugas Bambang Haryo.

Pemilik sapaan akrab BHS ini mengemukakan, masyarakat berhak untuk mendapatkan BBM bersubsidi baik premium RON 88 maupun solar, karena transportasi publik di Indonesia belum terkoneksi dengan baik dari point ke point, serta tidak terjadwal dan tarifnya mahal.

Sehingga, lanjut BHS semua masyarakat masih harus menggunakan kendaraan pribadi baik mobil maupun motor agar bisa mempercepat perjalanan serta menepatkan waktu sesuai dengan kebutuhannya dan menekan biaya transportasi.

“Bila masyarakat menggunakan transportasi publik di Indonesia menjadi sangat mahal bisa jauh lebih mahal daripada menggunakan transportasi pribadi, sehingga dapat dikategorikan masyarakat yang menggunakan transportasi pribadi bukan hanya masyarakat kaya, tetapi juga termasuk masyarakat berpenghasilan rendah yang tujuannya untuk penghematan bila dibandingkan dengan menggunakan transportasi publik,” terang alumnus ITS Surabaya ini.

Lebih lanjut kata BHS, hal ini berbanding terbalik dengan negara yang transportasi publiknya sudah terkoneksi dengan baik. Jepang, Singapura, dan negara di Eropa Barat misalnya. Menurutnya, masyarakat dari bawah sampai menegah atas pun memanfaatkan transportasi publik secara maksimal karena lebih murah dan tepat waktu.

Sementara itu, masih menurut BHS, di Malaysia, pemerintahannya merasa bahwa transportasi publik belum bisa maksimal memenuhi kebutuhan masyarakat. Walaupun transportasi publiknya jauh lebih baik konektivitasnya dibanding dengan di Indonesia. Pemerintah Malaysia pun tahu diri dan tetap memberikan subsidi bahan bakar yang diberikan kepada masyarakatnya.

“Jenis BBM yang diberikan kepada masyarakat Malaysia adalah Petrol 97 yang setara dengan pertamax turbo. Tanpa subsidi seharga 4,84 ringgit atau setara Rp16.400 per liter. Sedangkan BBM yang disubsidi, Petrol 95 setara dengan pertamax plus. Harganya 2,05 ringgit atau setara Rp6.957 per liter. BBM subsidi lainnya yaitu solar harganya 2,15 ringgit setara Rp7.297 per liter. Bahkan transportasi publik baik taxi maupun logistik seperti truk dan bus bisa menggunakan bahan bakar gas yang harganya 50 persen lebih murah dari BBM,” rinci BHS yang juga ketua harian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jatim ini.

Lantas, lanjut BHS, kenapa harga BBM di Malaysia bisa jauh lebih murah dibanding Indonesia yang juga sama-sama penghasil minyak mentah dan membeli BBM dari sebagian besar negara yang sama dengan Indonesia, misalnya Saudi Arabia, Singapura.

Karena itu, BHS menegaskan, kebijakan penggunaan aplikasi My Pertamina untuk pertalite tidak tepat dan tidak berdasar, karena bukan BBM bersubsidi, serta tidak efisien dan akan mempersulit masyarakat yang berpendidikan rendah, setidaknya sebesar 20 persen di Indonesia dengan pendidikan minim.

Kemudian, sambung BHS, penggunaan My Pertamina dapat membahayakan keselamatan pengendara saat penggunaan seluler phone dilokasi pom bensin, belum lagi jika aplikasi atau jaringan sedang terganggu akan menimbulkan antrean panjang dan macet, serta sulitnya mengakses aplikasi di daerah pedalaman yang jaringannya terbatas. Hal itu mengakibatkan adanya penambahan biaya untuk top-up yang merugikan masyarakat. Belum lagi erbatasnya tenaga kerja di SPBU untuk melakukan pemantauan aplikasi sekaligus pelayanan pengisian BBM. Dan sampai dengan saat ini belum ada sosialisasi aplikasi tersebut dari Pertamina.

“Saat ini Pertamina mengalami kerugian besar sebesar Rp100 triliun tahun 2021 karena menjual BBM non subsudi, sedangkan Petronas di Malaysia yang menjual BBM subsidi maupun non subsidi yang jauh lebih murah dari Pertamina, tahun 2021 malah mendapatkan keuntungan sangat besar yaitu 48,6 milyar ringgit atau setara Rl159,7 triliun. Maka kerugian Pertamina adalah tidak masuk akal. Oleh sebab itu Pertamina harus diaudit. Kami menolak keras pertalite yang dianggap BBM subsidi dibatasi, serta menolak pemberlakuan aplikasi My Pertamina dalam penjualan pertalite” tutup BHS, tegas. (*)

Penulis: iknbisnis