Penulis : Nadia Luthfiah Zahroo, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Mulawarman.

Pernahkah kita menyadari bahwa membuka akses bagi semua anak hanyalah langkah awal dari pendidikan inklusif? Tanpa dukungan dan penerimaan yang nyata, kesempatan belajar yang setara belum benar-benar tercapai.

Pendidikan inklusif sejati menuntut keterlibatan semua pihak agar setiap anak, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus, dapat belajar dan berkembang dengan layak.

Namun, kenyataannya masih banyak anak berkebutuhan khusus yang belum sepenuhnya mendapatkan kesempatan belajar yang setara.

Berdasarkan hasil Regsosek 2023, sekitar 4,3 juta penyandang disabilitas sedang hingga berat di Indonesia masih menghadapi keterbatasan akses layanan dasar, termasuk pendidikan.

Data Susenas Maret 2024 menunjukkan bahwa 17,2 persen penyandang disabilitas berusia 15 tahun ke atas belum pernah bersekolah, dan hanya 4,24 persen yang menempuh pendidikan tinggi.

Pendidikan inklusif hadir untuk memberikan kesempatan belajar setara bagi semua anak, baik dengan hambatan fisik (tunadaksa) maupun intelektual (tunagrahita ringan).

Meski demikian, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari keterbatasan fasilitas sekolah, minimnya pelatihan guru, hingga rendahnya pemahaman terhadap karakteristik dan kebutuhan spesifik siswa, sementara keberadaan shadow teacher yang seharusnya mendampingi mereka juga masih sangat terbatas.

Berbagai tantangan yang muncul dari kondisi tersebut memengaruhi kesempatan belajar anak-anak dengan kebutuhan khusus secara langsung.

Oleh karena itu, penting untuk menelaah secara lebih mendalam mulai dari fasilitas, sarana dan prasarana, pendekatan pembelajaran, hingga kesadaran masyarakat agar pendidikan inklusif dapat dijalankan secara efektif.

Salah satu tantangan utama terletak pada ketersediaan fasilitas dan infrastruktur yang mendukung siswa dengan berbagai hambatan, terutama hambatan fisik (tunadaksa).

Meskipun beberapa sekolah di Indonesia telah menerapkan sistem pendidikan inklusif, belum banyak yang memiliki ruang kelas yang benar-benar ramah bagi anak berkebutuhan khusus, khususnya siswa tunadaksa yang menggunakan kursi roda atau alat bantu mobilitas lainnya.

Ketersediaan teknologi pendidikan, seperti alat bantu belajar atau perangkat lunak adaptif, juga masih terbatas, padahal hal ini dapat sangat membantu anak berkebutuhan khusus dalam mengakses materi pembelajaran.

Tantangan berikutnya terkait pendekatan pembelajaran. Guru sering kali belum memiliki pengetahuan atau pelatihan yang memadai untuk menyesuaikan metode belajar dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.

Siswa tunadaksa membutuhkan strategi yang mempertimbangkan keterbatasan fisiknya, sementara siswa tunagrahita ringan memerlukan pendekatan yang sesuai dengan kemampuan kognitif dan gaya belajarnya. Keterbatasan pemahaman dan keterampilan guru dapat menghambat optimalisasi proses belajar bagi anak berkebutuhan khusus.

Selain itu, keberadaan shadow teacher atau guru pendamping khusus (GPK) masih sangat minim.

Menurut data Kemendikbudristek (2023), dari 40.164 sekolah inklusif di Indonesia, baru sekitar 14,8 persen yang memiliki guru pembimbing khusus.

Padahal, Peran guru pendamping sangat penting untuk mendukung guru kelas, memastikan partisipasi aktif siswa, dan menciptakan suasana belajar yang adaptif, inklusif, dan responsif.

Tanpa dukungan ini, penerapan pendidikan inklusif sulit mencapai hasil yang maksimal. Lingkungan sekitar juga berperan penting dalam kesuksesan pendidikan inklusif. Kesadaran masyarakat dan orang tua yang masih rendah terhadap hak anak berkebutuhan khusus menjadi salah satu hambatan.

Beberapa pihak beranggapan bahwa anak berkebutuhan khusus tidak perlu pendidikan formal atau biaya yang dikeluarkan terlalu tinggi.

Pandangan tersebut dapat memperlambat kemajuan pendidikan inklusif sekaligus meningkatkan risiko diskriminasi.

Berbagai tantangan ini menunjukkan perlunya solusi yang tepat. Peningkatan fasilitas dan infrastruktur, seperti ruang kelas yang mendukung pembelajaran inklusif, alat bantu belajar yang memadai, akses fisik seperti ramp bagi siswa tunadaksa, serta toilet khusus, menjadi hal mendesak.

Selain itu, pelatihan berkelanjutan bagi guru sangat diperlukan. Pelatihan dapat mencakup pengelolaan kelas inklusif, asesmen adaptif, dan penggunaan teknologi asistif. Shadow teacher juga sebaiknya tersedia untuk membantu guru kelas, mengikuti perkembangan metode pembelajaran inklusif, dan merancang materi yang sesuai dengan kebutuhan individu siswa, termasuk rencana pembelajaran individual (RPI).

Sosialisasi kepada orang tua dan masyarakat mengenai pentingnya pendidikan inklusif, hak-hak anak berkebutuhan khusus, serta cara berinteraksi dengan mereka juga diperlukan.

Dukungan sosial dari keluarga, guru, dan masyarakat akan membangun rasa percaya diri anak serta memastikan mereka merasa dihargai dan diterima di lingkungan belajar.

Pendidikan inklusif adalah kunci agar setiap anak, baik dengan hambatan fisik maupun intelektual, memperoleh kesempatan belajar setara dan berkembang optimal.

Penulis: Opini Publik