Penulis : Prakoso Yudho Lelono, S.H.I
Ketua KPU Balikpapan

Iduladha 1446 Hijriah tahun ini bertepatan dengan 6 Juni 2025. Melalui tulisan ini saya coba mengajak untuk merenungi makna pengorbanan, keikhlasan, dan kepedulian terhadap sesama.

Dalam suasana yang penuh kekhusyukan, gema takbir berkumandang menggetarkan langit dan hati manusia. Namun, lebih dari sekadar perayaan ritual, Idul Adha sejatinya adalah ajakan spiritual untuk kembali menakar kadar keimanan dan nilai kemanusiaan dalam diri kita masing-masing.

Setiap tahun, umat Islam mengenang kisah agung Nabi Ibrahim AS dan anaknya, Nabi Ismail AS. Ketika Allah memerintahkan Ibrahim untuk mengorbankan anaknya melalui mimpi, ia tidak ragu untuk mematuhi perintah itu. Ismail pun menerima dengan penuh ketulusan dan keberanian.

Sebuah ujian luar biasa yang menggambarkan keimanan tanpa syarat, serta bentuk ketaatan mutlak kepada kehendak Ilahi.

Pada akhirnya, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba sebagai bentuk penghargaan atas keikhlasan mereka. Peristiwa inilah yang menjadi asal muasal disyariatkannya ibadah kurban.

Dalam kehidupan modern yang semakin pragmatis, konsep pengorbanan kadang terasa asing. Banyak orang lebih mengutamakan kepentingan pribadi, mengejar kenyamanan, dan menghindari risiko.

Namun, spirit Idul Adha mengingatkan kita bahwa hidup bukan hanya soal mengambil, melainkan juga tentang memberi. Dalam pengorbanan terdapat makna cinta, dalam keikhlasan terdapat ketulusan yang mendalam, dan dalam memberi kita sesungguhnya menerima makna kehidupan yang lebih hakiki.

Pengorbanan tidak harus selalu berbentuk materi atau nyawa. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dihadapkan pada banyak pilihan untuk berkorban demi kebaikan yang lebih besar. Seorang guru yang mengabdi di pelosok, relawan kemanusiaan di wilayah konflik, orang tua yang bekerja keras demi masa depan anak-anaknya—semua adalah bentuk pengorbanan yang jika dilakukan dengan ikhlas, akan bernilai ibadah di mata Tuhan.

Ibadah kurban juga menjadi simbol keadilan sosial. Ketika daging kurban dibagikan kepada masyarakat, terutama kepada mereka yang tidak mampu membeli daging sepanjang tahun, di situlah Islam menampilkan wajah sosialnya. Kurban bukan hanya ritual, tetapi bentuk konkret dari kepedulian terhadap sesama.

Dalam konteks Indonesia yang memiliki tingkat ketimpangan ekonomi cukup tinggi, ibadah kurban seharusnya mampu menjembatani kesenjangan sosial. Ia menjadi media untuk menyatukan yang kaya dan miskin dalam satu ikatan ukhuwah (persaudaraan).

Kurban mengajarkan bahwa kekayaan bukan milik pribadi semata, tetapi ada hak orang lain di dalamnya. Maka, semangat kurban harus terus dipupuk, tidak hanya di hari-hari besar, tetapi dalam praktik hidup keseharian—berbagi rezeki, membantu tetangga, menyantuni anak yatim, dan menebar kebaikan di lingkungan sekitar.

Tahun 2025 membawa kita pada realitas dunia yang semakin kompleks. Krisis iklim, ketegangan geopolitik, pandemi yang masih menyisakan dampak, hingga kemiskinan struktural menjadi tantangan nyata yang dihadapi umat manusia.

Dalam situasi ini, kita dituntut untuk kembali kepada nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan yang luhur. Idul Adha menjadi momentum untuk menguatkan kembali komitmen kita terhadap tanggung jawab sosial dan ekologis.

Kurban tidak boleh berhenti pada seremoni tahunan yang rutin dilakukan. Harus ada transformasi spiritual yang menggerakkan kita menjadi pribadi yang lebih peduli, lebih sadar akan keberadaan orang lain, dan lebih berani mengambil peran dalam perubahan sosial.

Kepekaan sosial harus menjadi bagian dari kesalehan yang kita bangun, sebab Islam tidak hanya mengajarkan hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal dengan manusia dan alam.

Setiap zaman membutuhkan figur-figur seperti Ibrahim dan Ismail—orang-orang yang rela berkorban, berani mengambil risiko demi kebaikan bersama, dan tidak takut kehilangan demi meraih nilai-nilai yang lebih tinggi.

Kita bisa menjadi “Ibrahim” dalam keluarga, masyarakat, bahkan di ruang-ruang pengambilan kebijakan. Kita bisa menjadi “Ismail” yang siap berkontribusi dan taat pada panggilan nurani, meski itu mengharuskan kita menanggalkan kenyamanan pribadi.

Dalam ruang publik yang sering kali gaduh oleh kepentingan, suara-suara ikhlas sering tertutupi. Tapi Idul Adha mengingatkan bahwa keikhlasan adalah kekuatan yang tidak terlihat, namun sangat dahsyat dampaknya.

Ketika kita berbuat bukan untuk pencitraan, bukan untuk pujian, melainkan semata karena Allah dan demi kemaslahatan umat, maka nilai itulah yang akan kekal.

Idul Adha juga harus menjadi momen refleksi dan pembaruan. Tidak hanya soal ibadah personal, tetapi juga tentang bagaimana kita membangun komunitas yang inklusif, adil, dan penuh kasih.

Keguyuban masyarakat bisa dibangun dari semangat saling tolong-menolong yang ditumbuhkan melalui semangat kurban.

Di lingkungan masjid, perumahan, organisasi, maupun lembaga publik, semangat berbagi dan gotong royong perlu terus ditumbuhkan, tidak hanya musiman tetapi berkelanjutan.
Kita bisa mulai dengan hal kecil: menyapa tetangga, mengurangi sifat egois, ikut serta dalam kegiatan sosial, dan tidak cuek terhadap kesulitan orang lain.

Penulis: Opini Publik