“Termasuk juga, iklim usaha yang kurang kondusif, begitu banyaknya ekonomi berbiaya tinggi, pungutan dari oknum dan lainnya serta banyaknya jalan raya di Indonesia yang rusak
Menurut data BPS, 31,9 persen jalan raya rusak. Bahkan 15,9 persen rusak berat misalnya di Sumatera, Kalimantan dan Papua yang mengakibatkan komponen suku cadang transportasi publik menjadi cepat rusak dan begitu banyak kejahatan di jalan raya juga aksi pelemparan batu kepada transportasi publik yang marak terjadi. Sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang dibebankan kepada tarif angkutan publik,” imbuh BHS.
Lebih dari itu, menurut alumnus teknik perkapalan ITS Surabaya ini, penumpang di terminal pun masih sulit untuk bisa menghindar dari calo dan bahkan banyaknya kejahatan seperti copet, penipuan dan lainnya di terminal.
“Ditambah lagi, jalur jalur transportasi publik belum bisa terkoneksi dengan baik dan belum memenuhi sampai tempat tujuan yang diinginkan oleh masyarakat.
Apalagi kalau melihat jumlah pemudik, rencananya ada sekitar 123 juta pemudik tahun 2023 dengan ketersediaan bis sesuai dengan data Kementerian Perhubungan hanya 213 ribu untuk seluruh Indonesia.
Jumlah itu jelas tidak cukup untuk bisa mengantisipasi total pemudik yang ada di Indonesia,” lanjutnya tegas.
BHS mengharapkan pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dapat mengkaji secara mendalam usulan Ketua Umum MTI Pusat yang cenderung tidak berdasar dan asal-asalan agar tidak menjadi bagian dari kebijakan pemerintah. (*)