
IKNBISNIS.COM, BALIKPAPAN – Upaya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menargetkan jaringan listrik menjangkau 5.700 desa pada tahun 2030 disambut positif oleh sejumlah pakar energi dan ekonomi Kalimantan Timur (Kaltim).
Langkah tersebut dinilai strategis dan realistis, serta sejalan dengan agenda pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka dalam memperkuat kemandirian dan swasembada energi nasional di tahun awal kepemimpinannya.
Peneliti energi STT Migas Balikpapan, Dr Andi Jumardi mengatakan masih adanya ribuan desa yang belum teraliri listrik menjadi tantangan besar bagi pemerintah, termasuk di wilayah Kaltim yang dikenal sebagai “lumbung energi nasional”.
“Kaltim ini lumbung energi tapi masih ada daerah yang belum mendapat listrik. Persoalannya karena wilayahnya sulit dijangkau, sehingga perlu ada sumber energi lokal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,” ujar Andi dalam forum diskusi publik yang mengusung tema “Meneropong 1 Tahun Kemandirian Energi Nasional Era Prabowo–Gibran dari Borneo”, di Balikpapan, Jum’at (17/10/2025).
Ia menyampaikan, kebijakan pemerintah yang mulai fokus mengalirkan listrik ke desa-desa terpencil patut diapresiasi dan menjadi bagian dari agenda swasembada energi sebagaimana tertuang dalam Asta Cita Prabowo–Gibran.
Menurutnya, swasembada energi tidak hanya berhenti pada sektor produksi, namun juga harus menyentuh level pengguna akhir.
“Dalam Asta Cita itu, swasembada energi berkaitan dengan hilirisasi energi. Selama ini hilirisasi baru sampai sektor downstream, belum menyentuh end user.
Target pemerintah sekarang adalah sampai di titik pengguna energi, supaya masyarakat benar-benar merasakan hasilnya,” ucapnya.
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik Universitas Mulawarman, Dr Saipul, M.Si., mengatakan bahwa target elektrifikasi desa bukan hanya urusan pembangunan infrastruktur, tetapi juga wujud keseriusan pemerintah dalam mencapai ketahanan energi.
“Kalau bicara swasembada energi, itu sejajar dengan istilah ketahanan energi. Pemerintah sekarang sudah menjadikannya prioritas nasional, tinggal bagaimana kita mengukur dan mewujudkannya di lapangan,” kata Saipul.
Ia menjelaskan, Indonesia perlu mengacu pada empat indikator utama ketahanan energi yaitu availability (ketersediaan), accessibility (aksesibilitas), affordability (keterjangkauan), dan acceptability (penerimaan) agar kebijakan elektrifikasi tidak berhenti di tataran wacana.
Saipul menilai, target yang dipatok Menteri Bahlil masih dalam batas realistis sepanjang didukung data valid, perencanaan matang, dan pembagian tanggung jawab yang jelas antarinstansi. Pemerintah daerah dan perusahaan besar di setiap wilayah harus ikut berperan aktif dalam mendukung program ini.
Lebih lanjut, Saipul menegaskan bahwa ketersediaan listrik saat ini sudah menjadi kebutuhan mendasar, sejajar dengan layanan pendidikan dan akses internet.
“Transformasi digital tidak bisa berjalan tanpa listrik. Pemerintah harus menyediakan kedua hal itu, karena kalau tidak, kita akan tertinggal dari negara lain yang sudah bertransformasi menuju era digital,” tuturnya.
Ekonom Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo menyebut langkah Kementerian ESDM sebagai bagian dari kebijakan publik yang berorientasi pelayanan.
Ia mengatakan, sebagai badan usaha milik negara, PLN harus berani berinvestasi lebih besar di wilayah 3T agar cita-cita pemerataan energi bisa terwujud.
“Ini cita-cita yang bagus, tapi harus konkret di lapangan. PLN harus berani berinvestasi karena mereka punya tanggung jawab sebagai public service. Jangan menunggu swasta masuk dulu baru bergerak.” Pungkasnya. (*)