Pengelola Batik Walang Kekek, Ester Wulandari menunjukkan koleksi kain batik yang ada di Galeri. (iknbisnis.com/yandri)

IKNBISNIS.COM, SOLO – Batik bukan sekadar kain, melainkan penanda sejarah dan warisan budaya yang sarat filosofi. Hal itu ditegaskan Ester Wulandari, menantu Hj Waldjinah sekaligus pengelola Batik Walang Kekek saat dijumpai media di Galeri Batik Walang Kekek, Senin (8/9/2025).

Ia menuturkan, pelestarian batik menjadi salah satu tujuan keluarga besar sang maestro keroncong Waldjinah.

Menurutnya, masih banyak generasi muda yang memandang batik hanya sebatas gambar di kain dengan teknik lilin. Padahal, batik Jawa lebih dari itu.

“Banyak sekali generasi muda yang tidak paham tentang Batik. Bagi generasi muda Batik dilihat sebagai sesuatu yang digambar pakai lilin ya, itu batik. Namun, orang Jawa pada khususnya tidak begitu. Jadi batik itu sebagai penanda,” ujar Ester.

Pada kesempatan itu, ia juga menceritakan sejarah berdirinya Batik Walang Kekek. Waldjinah mulai menekuni Batik Walang Kekek sejak 2016 sebagai bentuk kecintaannya pada seni batik, selain musik keroncong.

“Batik walangkeke itu lahir di 2016, manakala Ibu Waldjinah mendapatkan penghargaan dari pemerintah atas 60 tahun beliau berkarya.

Pada saat itu pemerintah (Presiden) meminta kepada Ibu Waldjinah, Ibu apalagi yang bisa di kembangkan untuk generasi muda. Di tengah era globalisasi dan modernisasi yang tanpa sekat ini, Ibu Waldjinah bisa tidak mengerjakan satu hal lagi,” jelas Ester seraya menirukan ucapan Presiden Joko Widodo kala itu.

Menerima amanah tersebut, Waldjinah memutuskan untuk mendirikan Batik Walang Kekek sebagai bentuk dedikasi dalam melestarikan kebudayaan yang bisa ia lakukan.

Ester menerangkan, koleksi batik yang dimiliki Waldjinah bukan sekadar karya biasa, namun menyimpan nilai sejarah dan perjalanan budaya lintas zaman.

“Nah, batik-batik yang disimpan Ibu Waldjinah itu dari umur 10 tahun hingga sekian, yang dipakai itu hampir seribu kain,” ungkapnya.

Ia mengatakan bahwa alasan Waldjinah memiliki begitu banyak koleksi karena pengaruh sang kakak sulung yang merupakan seorang seniman batik.

“Dan Ibu Waldjinah menyimpan hampir seribu pola langka yang digambar di kertas singkong. Ini foto Ibu Waldjinah tahun 1975 yang membatik. Jadi warisan kertas-kertas langka yang beliau miliki ada di sini,” jelasnya sambil menunjukkan arsip batik di Galeri Walang Kekek.

Koleksi tersebut, lanjut Ester, ada di berbagai ruangan galeri dan sebagian merupakan peninggalan dari masa 1800an hingga 1960.

Ragam motif batik yang menunjukkan akulturasi budaya dari Amerika, Jepang, Tiongkok, Belanda, hingga mitologi Yunani menjadi koleksi berharga yang dimiliki Galeri Batik Walang Kekek.

Ester menegaskan, setiap helai Batik Walang Kekek yang dibuat bukan hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga menyimpan filosofi dan makna yang mendalam.

“Buat batik itu harus Tri Sakti Cipta Rasa Karsa, bukan hanya dengan Mata tapi juga harus dengan Hati.” Imbuh Ester. (*)

Penulis: Yandri Rinaldi